Sejarah Kota Malang
Kota Malang, adalah sebuah kota
di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kota ini berada di dataran tinggi
yang cukup sejuk, terletak 90 km sebelah selatan Kota Surabaya, dan
wilayahnya dikelilingi oleh Kabupaten Malang. Malang merupakan kota
terbesar kedua di Jawa Timur, dan dikenal dengan julukan kota pelajar.
Wilayah cekungan Malang telah ada
sejak masa purbakala menjadi kawasan pemukiman. Banyaknya sungai yang
mengalir di sekitar tempat ini membuatnya cocok sebagai kawasan
pemukiman. Wilayah Dinoyo dan Tlogomas diketahui merupakan kawasan
pemukiman prasejarah.[3] Selanjutnya, berbagai prasasti (misalnya
Prasasti Dinoyo), bangunan percandian dan arca-arca, bekas-bekas pondasi
batu bata, bekas saluran drainase, serta berbagai gerabah ditemukan
dari periode akhir Kerajaan Kanjuruhan (abad ke-8 dan ke-9) juga
ditemukan di tempat yang berdekatan.
Nama "Malang" sampai saat ini
masih diteliti asal-usulnya oleh para ahli sejarah. Para ahli sejarah
masih terus menggali sumber-sumber untuk memperoleh jawaban yang tepat
atas asal-usul nama "Malang". Sampai saat ini telah diperoleh beberapa
hipotesa mengenai asal-usul nama Malang tersebut. Malangkucecwara yang
tertulis di dalam lambang kota itu, menurut salah satu hipotesa
merupakan nama sebuah bangunan suci. Nama bangunan suci itu sendiri
diketemukan dalam dua prasasti Raja Balitung dari Jawa Tengah yakni
prasasti Mantyasih tahun 907, dan prasasti 908 yakni diketemukan di satu
tempat antara Surabaya-Malang. Namun demikian dimana letak sesungguhnya
bangunan suci Malangkucecwara itu, para ahli sejarah masih belum
memperoleh kesepakatan. Satu pihak menduga letak bangunan suci itu
adalah di daerah gunung Buring, satu pegunungan yang membujur di sebelah
timur kota Malang dimana terdapat salah satu puncak gunung yang bernama
Malang. Pembuktian atas kebenaran dugaan ini masih terus dilakukan
karena ternyata, disebelah barat kota Malang juga terdapat sebuah gunung
yang bernama Malang. Pihak yang lain menduga bahwa letak sesungguhnya
dari bangunan suci itu terdapat di daerah Tumpang, satu tempat di
sebelah utara kota Malang. Sampai saat ini di daerah tersebut masih
terdapat sebuah desa yang bernama Malangsuka, yang oleh sebagian ahli
sejarah, diduga berasal dari kata Malankuca yang diucapkan terbalik.
Pendapat di atas juga dikuatkan oleh banyaknya bangunan-bangunan
purbakala yang berserakan di daerah tersebut, seperti Candi Jago dan
Candi Kidal, yang keduanya merupakan peninggalan zaman Kerajaan
Singasari. Dari kedua hipotesa tersebut di atas masih juga belum dapat
dipastikan manakah kiranya yang terdahulu dikenal dengan nama Malang
yang berasal dari nama bangunan suci Malangkucecwara itu. Apakah daerah
di sekitar Malang sekarang, ataukah kedua gunung yang bernama Malang di
sekitar daerah itu. Sebuah prasasti tembaga yang ditemukan akhir tahun
1974 di perkebunan Bantaran, Wlingi, sebelah barat daya Malang, dalam
satu bagiannya tertulis sebagai berikut : “………… taning sakrid
Malang-akalihan wacid lawan macu pasabhanira dyah Limpa Makanagran I
………”. Arti dari kalimat tersebut di atas adalah : “ …….. di sebelah
timur tempat berburu sekitar Malang bersama wacid dan mancu, persawahan
Dyah Limpa yaitu ………” Dari bunyi prasasti itu ternyata Malang merupakan
satu tempat di sebelah timur dari tempat-tempat yang tersebut dalam
prasasti itu. Dari prasasti inilah diperoleh satu bukti bahwa pemakaian
nama Malang telah ada paling tidak sejak abad 12 Masehi.
Hipotesa-hipotesa terdahulu, barangkali berbeda dengan satu pendapat
yang menduga bahwa nama Malang berasal dari kata “Membantah” atau
“Menghalang-halangi” (dalam bahasa Jawa berarti Malang). Alkisah Sunan
Mataram yang ingin meluaskan pengaruhnya ke Jawa Timur telah mencoba
untuk menduduki daerah Malang. Penduduk daerah itu melakukan perlawanan
perang yang hebat. Karena itu Sunan Mataram menganggap bahwa rakyat
daerah itu menghalang-halangi, membantah atau malang atas maksud Sunan
Mataram. Sejak itu pula daerah tersebut bernama Malang. Timbulnya
Kerajaan Kanjuruhan tersebut, oleh para ahli sejarah dipandang sebagai
tonggak awal pertumbuhan pusat pemerintahan yang sampai saat ini,
setelah 12 abad berselang, telah berkembang menjadi Kota Malang. Setelah
kerajaan Kanjuruhan, di masa emas kerajaan Singasari (1000 tahun
setelah Masehi) di daerah Malang masih ditemukan satu kerajaan yang
makmur, banyak penduduknya serta tanah-tanah pertanian yang amat subur.
Ketika Islam menaklukkan Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1400, Patih
Majapahit melarikan diri ke daerah Malang. Ia kemudian mendirikan sebuah
kerajaan Hindu yang merdeka, yang oleh putranya diperjuangkan menjadi
satu kerajaan yang maju. Pusat kerajaan yang terletak di kota Malang
sampai saat ini masih terlihat sisa-sisa bangunan bentengnya yang kokoh
bernama Kutobedah di desa Kutobedah. Adalah Sultan Mataram dari Jawa
Tengah yang akhirnya datang menaklukkan daerah ini pada tahun 1614
setelah mendapat perlawanan yang tangguh dari penduduk daerah ini.
Seperti halnya kebanyakan
kota-kota lain di Indonesia pada umumnya, Kota Malang modern tumbuh dan
berkembang setelah hadirnya administrasi kolonial Hindia Belanda.
Fasilitas umum direncanakan sedemikian rupa agar memenuhi kebutuhan
keluarga Belanda. Kesan diskriminatif masih berbekas hingga sekarang,
misalnya ''Ijen Boullevard'' dan kawasan sekitarnya. Pada mulanya hanya
dinikmati oleh keluarga-keluarga Belanda dan Bangsa Eropa lainnya,
sementara penduduk pribumi harus puas bertempat tinggal di pinggiran
kota dengan fasilitas yang kurang memadai. Kawasan perumahan itu
sekarang menjadi monumen hidup dan seringkali dikunjungi oleh keturunan
keluarga-keluarga Belanda yang pernah bermukim di sana.
Pada masa penjajahan kolonial
Hindia Belanda, daerah Malang dijadikan wilayah "Gemente" (Kota).
Sebelum tahun 1964, dalam lambang kota Malang terdapat tulisan ; “Malang
namaku, maju tujuanku” terjemahan dari “Malang nominor, sursum moveor”.
Ketika kota ini merayakan hari ulang tahunnya yang ke-50 pada tanggal 1
April 1964, kalimat-kalimat tersebut berubah menjadi :
“Malangkucecwara”. Semboyan baru ini diusulkan oleh almarhum Prof. Dr.
R. Ng. Poerbatjaraka, karena kata tersebut sangat erat hubungannya
dengan asal-usul kota Malang yang pada masa Ken Arok kira-kira 7 abad
yang lampau telah menjadi nama dari tempat di sekitar atau dekat candi
yang bernama Malangkucecwara.
Kota malang mulai tumbuh dan
berkembang setelah hadirnya pemerintah kolonial Belanda, terutama ketika
mulai di operasikannya jalur kereta api pada tahun 1879. Berbagai
kebutuhan masyarakatpun semakin meningkat terutama akan ruang gerak
melakukan berbagai kegiatan. Akibatnya terjadilah perubahan tata guna
tanah, daerah yang terbangun bermunculan tanpa terkendali. Perubahan
fungsi lahan mengalami perubahan sangat pesat, seperti dari fungsi
pertanian menjadi perumahan dan industri.
SUMBER : http://budpar.malangkota.go.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar